Jurangpahit secara administratif adalah salah satu dusun yang
terdapat di Desa Kutampi, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Propinsi
Bali. Banyak yang bertanya darimana sebenarnya asal-usul nama Jurangpahit.
Mengapa bisa namanya Jurang dan Pahit? Apakah Jurang tersebut yang rasanya
pahit atau bagaimana. Asal-usul nama
Jurangpahit ternyata ada hubungannya dengan geografis yaitu letaknya yang
diapit oleh dua jurang disebelah barat dan timur. Sejarah asal-usul nama Jurangpahit ini
seperti yang dituturkan oleh Jro Mangku Ketut Sepun –salah seorang sesepuh yang
masih hidup - kepada penulis. Cerita ini sepertinya terjadi sekitar 150-an
tahun yang lalu. Perkiraan ini didasarkan bahwa penduduk pertama Dusun
Jurangpahit adalah kumpi dari Pekak
Made (I Wayan Yasa) yang masih hidup dan saat ini diperkirakan berumur 80
tahun. Menurut Mangku Ketut Sepun cerita ini diceritakan turun temurun dari
para pendahulunya. Benar tidaknya cerita tersebut hanyalah Tuhan yang tahu,
kerena para saksi sejarah tidak ada yang masih hidup.
Tersebutlah seorang balian wanita yang bermukim di Pulau Nusa Penida
bagian barat, tepatnya di Dusun Karangdawa, sekarang wilayah Desa Bunga Mekar.
Balian tersebut sangatlah sakti mandraguna dan dapat menyembuhkan berbagai
penyakit. Tidak ada yang tahu nama balian tersebut, masyarakat sekitarnya
menyebut beliau dengan sebutan Ni Balian Sakti. Kesaktian balian tersebut
termahsyur sampai ke Puri Semarapura, Kerajaan Klungkung.
Suatu ketika putri Ida Dewa Agung yang tidak lain adalah Raja
Klungkung menderita sakit parah. Banyak tabib dan balian yang diundang tidak
mampu menyembuhkan putri tersebut. Akhirnya suatu ketika utusan Raja Klungkung
tersebut mendengar kabar bahwa di Nusa Penida terdapat seorang perempuan yang
mampu mengobati berbagai penyakit. Maka dijemputlah Ni Balian Sakti tersebut
dan diajak ke Puri Semarapura.
Singkat cerita akhirnya Ni Balian Sakti pun diminta mengobati Sang Putri. Ida Dewa Agung
berjanji akan memberikan hadiah apabila Ni Balian Sakti berhasil menyebuhkan
Sang Putri begitu sebaliknya, apabila gagal maka Ni balian Sakti akan menerima
hukuman penggal. Ni Balian Sakti kemudian meminta sesajen berupa canang pitulikuran (canang 27 macam)
untuk memulai prosesi pengobatan. Dibawah ancaman pedang dari prajurit kerajaan
Ni balian melakukan ritualnya. Kemudian dia meminta yeh parangan yaitu air yang menetes dari batu-batuan di tebing guna
dipercikkan serta diminumkan kepada Sang Putri.
Saat itu adalah musim kemarau, maka sangatlah mustahil menemukan yeh parangan seperti yang diminta Ni
Balian, prajurit kerajaan pun menuduh Ni balian mengada-ada dan bersiap
memenggal kepala Ni Balian. Ni balian bersikeras bahwa dia dapat menemukan yeh
parangan disebelah selatan Puri semarapura. Maka diantarlah Ni Balian menuju
tempat yang dimaksud. Apa yang ditunjukkan Ni balian hanyalah sebuah tebing
atau parangan yang kering kerontang, tidak ada setetes airpun menetes dari
ujung-ujung bati tebing. Prajurit kerajaan pun semakin marah dan hendak
menghukum Ni Balian.
Ni balian kemudian mengambil sebuah porosan, kemudian merapal
mantra. Porosan tersebut kemudian disentil ke arah batu parangan. Ajaib porosan yang
terbuat dari janur kelapa menancap di batu cadas. Kemudian Ni Balian mecabut
porosan tersebut dan seketika itu pula muncul semburan air dari batu cadas
tersebut. Prajurit kerajaan pun terheran-heran dan kagum, kemudian segera
menampung air tersebut. Mereka kemudian bergegas ke Puri untuk meminumkan air
serta memercikkan air tersebut kepada Sang Putri. Seketika itu pula Sang Putri
sembuh dan sehat kembali.
Sesuai janjinya Ida Dewa Agung kemudian memberikan hadiah kepada Ni
balian Sakti yaitu berupa tanah di bagian timur pulau Nusa Penida, dimana
terdapat sebuah bukit yang diapit oleh jurang yaitu disebelah timur dan
baratnya. Tanah yang dimiliki Ni Balian adalah tanah sepanjang penglihatan Ni
Balian dari puncak bukit tesebut yaitu dari sebelah barat Tukad Sanggingan
sampai Tegeh Kuri, sebelah timur Jurang Made, ke utara sampai ke Samplangan dan
ke Selatan sampai Masan (sebelah utara kuburan sekarang). Kemudian beliau
membangun pondok di tempat yang sekarang disebut Masan (sebelah timur Pura
Dalem sekarang).
Ni balian pada saat itu adalah seorang yang belum menikah, maka
karena merasa tidak mampu menggarap tanah tersebut sendirian maka beliau
akhirnya kembali ke Karangdawa dan menikah disana, kemudian bersama suaminya I
Karang, beliau kembali ke daerah apit tukad atau apit jurang. Ni Balian dan I
Karang kemudian mempunyai 4 orang anak laki-laki. Di antara anak laki-lakinya
tesebut hanya dua orang yang mempunyai keturunan laki/waris yaitu yang dikenal
dengan Kaki Yur dan Kaki Yasa.
Demikianlah lama kelamaan keturunan Ni balian semakin bertambah.
Mereka adalah yang dikenal sekarang sebagai soroh Tangkas Tegeh Kori, penduduk
pertama di daerah tersebut. Alama- kelamaan berdatanganlah warga yang sekarang
dikenal sebagai warga tutuan dari desa sebelah selatan yaitu dari Gelagah.
Selanjutnya datang pula warga gelgel dari Jurang Aya. Demikianlah mereka hidup
berdampingan hingga kini. Adapun daerah tersebut kemudian dikenal dengan nama
Apit Jurang atau Jurang Apit. Lama kelamaan lapalnya menjadi Jurang Pahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar